Laman

Aku selalu di Sampingmu, Tapi Kau Tak Menghargaiku?

Hari ini aku kembali merasa seperti suara yang tak terdengar. Berulang kali aku sudah mencoba mengingatkan, memohon, bahkan menahan diri untuk tidak terlalu banyak bicara. Tapi tetap saja, suamiku lebih memilih mendengarkan orang lain daripada aku—istrinya yang selalu ada di sisinya.

Aku tidak sedang berlomba siapa yang paling benar. Aku hanya ingin dia tahu, aku berbicara karena sayang, karena aku tidak ingin melihat keluarga ini hancur pelan-pelan. Tapi sepertinya kehadiranku tidak cukup kuat untuk dia percaya.

Lebih sakit lagi ketika semua yang ku khawatirkan benar-benar terjadi. Dia ditipu, harta keluarga terkuras, dan aku hanya bisa menatap sambil menahan air mata. Ingin sekali aku berkata, “Aku kan sudah bilang…” tapi apa gunanya? Hatiku sudah terlalu lelah.

Aku merasa seperti tidak dianggap penting. Seolah-olah pendapatku hanyalah angin lalu. Padahal aku adalah bagian dari keluarga ini, partner hidupnya. Bukankah seharusnya kita berjalan bersama, bukan aku yang terus-menerus diabaikan?

Aku kecewa. Bukan hanya karena uang atau kerugian yang kami alami. Tapi karena aku merasa tidak dihargai. Aku ingin didengarkan, dipercaya, dianggap berharga. Rasanya begitu sepi ketika orang yang paling dekat sekalipun tak mau mengulurkan rasa percaya itu.

Aku hanya berharap suatu hari dia sadar. Bahwa aku di sini bukan untuk melawannya. Aku di sini untuk bersamanya. Karena yang kualami saat ini… sungguh menyakitkan.


Tulisan ini dibuat karena Bulan September 2024 pada akhirnya dia ditipu untuk kesekian kalinya. Kali ini ia percaya dan ingin membatu orang lain dengan meminjamkan uang puluhan juta. Dan pada akhirnya ditipu orang itu. Dan kami kekurangan uang sampai harus merelakan menjual sepeda motor ADV untuk tabungan kebutuhan pengeluaran. Semoga ini jadi pelajaran untuk dia agar lebih sadar. Amin

Aku Takut Dicemooh Karena Sebagian Besar Keluargaku Bercerai

Dear diriku sendiri,

Ada rasa takut yang sulit kujelaskan…
Setiap kali mendengar orang membicarakan keluargaku, ada bagian hatiku yang mengecil. Karena aku tahu, sebagian besar dari kami mengalami perceraian. Dan aku takut kalau suatu hari nanti, mereka juga akan melihatku dengan tatapan yang sama.

Aku takut dianggap sama seperti mereka.
Aku takut dianggap lemah, gagal, atau “memang sudah keturunan begitu.”
Aku takut jadi bahan omongan tetangga yang hanya melihat dari jauh, tapi berbicara seolah tahu segalanya.

Kadang aku bertanya-tanya, apakah mereka akan mencemoohku jika suatu hari pernikahanku juga tidak bisa dipertahankan?
Apakah aku akan dilabeli “memang keluarga mereka begitu nasibnya”?
Pertanyaan itu menghantuiku, membuatku ingin terus berjuang keras mempertahankan semuanya, bahkan ketika hatiku sendiri lelah.

Aku tahu ketakutan ini manusiawi.
Tapi kadang aku merasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan: bertahan hanya demi “citra”, atau berpisah lalu siap dicemooh.

Sejujurnya, aku hanya ingin dikenal sebagai perempuan yang berjuang sepenuh hati, bukan sekadar dilihat dari status pernikahan. Tapi dunia sering kali kejam. Mereka hanya melihat dari luar. Mereka tidak tahu luka yang kualami. Mereka tidak tahu perjuanganku setiap hari.

Aku menulis ini bukan karena aku menyerah, tapi karena aku butuh mengakui perasaanku sendiri. Bahwa ya, aku takut.
Aku takut dinilai.
Aku takut cerita keluargaku dijadikan bahan gosip.
Aku takut dicap sama seperti yang lain.

Tapi hari ini aku ingin mulai percaya…
Aku tidak harus mengulang pola keluarga hanya karena mereka punya cerita yang berat.
Aku bisa menciptakan jalan yang berbeda.
Aku bisa memutus rantai luka itu, baik dengan mempertahankan pernikahan yang sehat, ataupun dengan berani menyudahi hubungan yang menyakitkan.

Aku ingin percaya bahwa nilai diriku tidak ditentukan oleh status pernikahan.
Aku bisa menjadi perempuan yang kuat, mandiri, dan mencintai anak-anakku dengan sepenuh hati, apapun yang orang lain katakan.

Hari ini aku menulis untuk mengingatkan diriku sendiri:

> “Aku boleh takut, tapi aku tidak boleh membiarkan ketakutan itu menguasai hidupku. Aku berhak memilih jalan yang membuatku tenang, dan itulah keberanian yang sebenarnya.”

Aku tahu perjalananku tidak mudah. Tapi aku yakin, satu langkah kecil yang berani hari ini bisa menjadi awal dari kisah yang berbeda untukku dan anak-anakku.

– Catatan hati seorang perempuan yang sedang belajar melepaskan stigma dan merangkul hidupnya sendiri.

“Apakah Aku Salah Diselingkuhi?”

Hari ini aku kembali bertanya pada diriku sendiri…

“Apakah aku salah diselingkuhi?” Karna aku selalu menyalahkan diriku sendiri. Ke 4 kakinya dengan 3 wanita berbeda. Terakhir kalinya tepat di akhir tahun 2023 kemarin.

Mungkin pertanyaan ini terasa begitu berat. Ada luka yang tak bisa kuungkap dengan kata-kata. Karena setiap kali mengingat apa yang suamiku lakukan, hatiku terasa hancur lagi.

Kadang aku berpikir, mungkin aku yang salah. Mungkin aku tidak cukup baik. Mungkin aku tidak bisa melayani suami dengan sempurna. Tapi ketika aku merenung lebih dalam, aku sadar… aku sedang terluka.

Bagaimana bisa aku memberikan cinta dengan utuh, jika hati ini terus diinjak-injak? Bagaimana bisa aku melayani suami dengan tulus, jika kepercayaan yang menjadi fondasi rumah tangga sudah berkali-kali ia hancurkan?

---

Aku tidak salah karena sedang terluka

Dalam Islam, hubungan suami istri bukan hanya urusan fisik. Hubungan itu harus membawa sakīnah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang).

Seorang istri tidak bisa “dipaksa” untuk memberikan dirinya jika jiwanya hancur.

Seorang istri tidak bisa diminta berpura-pura bahagia jika harga dirinya dilukai dengan perselingkuhan.

Aku sadar… aku bukan penyebab perselingkuhan itu.

Yang bersalah adalah orang yang memilih mengkhianati, bukan yang sedang terluka.

---

Islam tidak membenarkan perselingkuhan dengan alasan apa pun.

Aku pernah mendengar sebuah hadits Rasulullah SAW:

> "Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik kepada Allah, daripada seorang laki-laki yang meletakkan air maninya di rahim yang tidak halal baginya."

(HR. Thabrani, hadits hasan)

Kalaupun ada masalah di rumah tangga, Islam sudah mengajarkan jalan keluarnya:

Musyawarah.

Saling menasihati.

Bersabar dan memperbaiki diri.

Jika semua itu gagal, maka berpisah dengan cara baik-baik (thalaq bi ihsan).

Perselingkuhan bukan hak. Itu dosa.

Tidak ada alasan “aku selingkuh karena kamu begini atau begitu.” Itu hanya pelarian, bukan solusi.

---

Aku bukan penyebab. Aku adalah korban luka.

Suami yang baik seharusnya mengobati luka istrinya, bukan mencari pelampiasan di luar.

Suami yang bertanggung jawab akan memperbaiki rumah tangganya, bukan menambah luka dengan pengkhianatan.

Hari ini aku ingin menulis ini sebagai pengingat untuk diriku sendiri:

🌸 Aku tidak salah diselingkuhi. Aku tidak berdosa karena terluka. Aku layak dihargai, dicintai dengan benar, dan aku tidak akan menyalahkan diriku lagi.

Jika aku belum mampu memberikan cinta seperti dulu, itu karena hatiku sedang berjuang untuk sembuh. Dan itu sangat manusiawi. Allah tahu, aku sudah berusaha.

---

💌 Kalimat penguat:

"Aku bukan penyebab luka ini. Aku sedang berjuang untuk sembuh, dan aku percaya Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang terzalimi."


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...