Laman
“Aku Bertahan, Tapi Hatiku Luka”
Menulis untuk Mengingat, Bukan Sekadar Mengabadikan
Peluk Tanpa Tanya, Dengarkan Tanpa Syarat
Alasanku untuk Tidak Menyerah!
Ada saat-saat di mana rasanya semua ini terlalu berat.
Saat aku ingin menyerah, berhenti, bahkan hilang sejenak dari semuanya.
Tapi setiap kali perasaan itu datang... wajah anak-anakku selalu muncul lebih dulu di pikiranku.
Mereka adalah alasanku.
Alasan kenapa aku masih bertahan.
Kenapa aku harus terus berdiri walaupun hati ini sudah rapuh berkali-kali.
Aku ingin mereka hidup lebih baik dari hidupku. Aku ingin mereka tumbuh tanpa rasa takut, tanpa luka karena lingkungan.
Aku ingin mereka merasa dicintai, diterima, dan punya ruang aman—yang tidak selalu bisa aku rasakan dulu.
Kadang aku merasa sangat sendiri. Lingkungan tidak mendukung, tidak memahami.
Untuk anak-anakku... aku ingin jadi tempat pulang yang kuat. Meski di dalam hati aku sering menangis, meski kadang aku juga ingin dipeluk dan dimengerti. Aku tahu, aku tidak boleh berhenti.
Aku tidak peduli lagi dengan siapa yang mendukung atau siapa yang meninggalkan. Aku tidak bisa mengandalkan siapa-siapa selain diriku sendiri. Dan itu tidak apa-apa. Karena selama anak-anakku masih tersenyum dan merasa aman di pelukanku… aku tahu, aku sedang berada di jalan yang benar.
Untuk mereka, aku akan terus berdiri.
Walau sendiri.
Walau dalam diam.
Ada masa dimana aku ingin kembali
Ingin Sendiri, Tapi Tak Mau Kehilangan Anak
Ada satu fase dalam hidup yang tak pernah kubayangkan akan kualami. Fase di mana aku merasa ingin tinggal sendiri, jauh dari lingkungan suami maupun keluargaku. Bukan karena aku tak cinta, bukan karena tak ada cinta. Tapi karena aku merasa... sudah terlalu lelah berharap dimengerti.
Rasanya seperti semua kepercayaan yang dulu kubangun perlahan-lahan runtuh. Mungkin bukan mereka yang berubah, tapi aku yang mulai melihat semuanya dari kacamata yang berbeda. Yang dulunya kupikir tempat berlindung, sekarang justru membuatku merasa asing.
Aku hanya ingin hidup tenang, dengan anak-anakku. Tidak harus menjelaskan apapun, tidak perlu terlihat kuat di depan siapa-siapa. Aku ingin punya ruang sendiri, untuk sembuh. Untuk bernapas tanpa harus memikirkan perasaan orang lain setiap waktu.
Tapi realitanya, niat itu tak semudah wujudnya. Rasanya aku bisa berdiri sendiri. Tapi kalau bersama anak-anak? Aku mulai ragu. Aku merasa tidak cukup kuat, tidak cukup pintar, tidak cukup tangguh untuk menjalani semuanya sendiri sebagai ibu tunggal.
Aku tahu, banyak ibu yang berhasil melakukannya. Tapi di dalam diriku, masih ada keraguan besar. Bukan hanya soal logistik, tapi soal mental. Aku ingin bebas, tapi aku takut kehilangan pijakan. Aku ingin sendiri, tapi aku tak yakin bisa membesarkan anak-anak tanpa support sistem.
Dan di situlah aku diam. Terjebak antara keinginan dan kenyataan. Antara kekuatan dan ketakutan. Antara aku yang sekarang, dan aku yang ingin sembuh.
Aku tau... menyerah bukan tanda lemah, tapi tanda sudah terlalu lama berjuang sendirian. Pelan-pelan, ingin membangun kekuatan itu lagi. Salam untuk diriku, yang meski lelah tapi masih bertahan. 🫶✨
Ketika Ingin Lari, Tapi Harus Tetap Tinggal
Dari dulu, setiap kali hidup terasa berat, aku punya satu cara yang selalu jadi pelarian: pergi. Pergi keluar rumah, mencari udara segar, atau sekadar menjauh dari suasana yang bikin sesak. Aku pikir, dengan menjauh sebentar, hati dan kepala bisa lebih tenang. Dan biasanya memang berhasil.
Tapi itu dulu.
Sebelum aku jadi istri.
Sebelum aku jadi ibu.
Sekarang, ketika masalah datang, pilihan itu tak semudah dulu. Ingin rasanya tetap bisa kabur sejenak—meninggalkan hiruk pikuk rumah, tangisan anak, dapur yang tak ada habisnya, atau rutinitas yang kadang membuatku lupa rasanya menjadi diriku sendiri. Tapi tanggung jawab sebagai ibu tak bisa ditinggalkan begitu saja. Ada anak-anak yang butuh pelukan, butuh jawaban, dan butuh kehadiran. Ada rumah yang menunggu untuk dirawat. Ada peran yang tak bisa digantikan oleh siapa pun.
Ternyata, menjadi ibu bukan sekadar peran. Tapi sebuah perjalanan belajar untuk bertahan, meskipun dalam hati kadang ingin lari. Sebuah proses menumbuhkan keteguhan, bahwa sekalipun jiwa ini lelah, cinta untuk anak jauh lebih besar.
Dan akhirnya, aku belajar menetap. Tidak lagi lari. Tapi berdamai.
Kalau kamu pernah merasa ingin pergi sejenak, itu wajar. Kita semua butuh ruang untuk bernapas. Tapi ingat, menetap bukan berarti kalah. Justru di sanalah letak kekuatan seorang ibu yang memilih tetap ada, meski hatinya kadang ingin jeda. Cerita pengalamanku untuk jadi ibu yang terus belajar bertahan. 💛
Hidup tanpa cinta
[Diary – Malam yang Sunyi]
Kadang aku bertanya pada diri sendiri…
Apa masih mungkin menjalani hidup tanpa mencintai?
Setelah banyak luka, banyak air mata yang aku telan diam-diam… rasanya hati ini beku.
Bukan karena aku tak bisa mencinta. Tapi karena setiap kali aku membuka hati, yang masuk justru duri.
Aku ingin pergi…
Ingin melepaskan, ingin bebas dari luka yang terus-menerus merobek ketenanganku.
Tapi setiap kali bayangan anak-anak melintas… langkahku berat.
Aku takut mereka terluka.
Takut mereka kehilangan bayangan "keluarga utuh", walau kenyataannya hancur di dalam.
Aku bertahan bukan karena cinta.
Tapi karena tanggung jawab. Karena takut.
Karena suara kecil dalam hati yang bilang, "Tahan sebentar lagi. Demi anak-anak."
Tapi aku lelah.
Lelah jadi yang kuat terus.
Lelah pura-pura baik-baik saja.
Lelah menenangkan orang lain, padahal diriku sendiri retak.
Malam ini aku cuma ingin didengar.
Tanpa nasihat. Tanpa dihakimi.
Aku hanya ingin menuliskan apa yang selama ini terkurung di dada.
Kalau memang harus hidup tanpa cinta, semoga masih ada kedamaian.
Dan kalau suatu saat aku mencintai lagi…
Semoga yang kucintai pertama adalah diriku sendiri.
Bertahan Demi Mereka
Aku masih di sini.
Masih bangun setiap pagi, menyiapkan semuanya, tersenyum di depan anak-anak—seolah semuanya baik-baik saja. Padahal... hatiku masih penuh dengan serpihan luka yang belum sempat kugenggam dengan utuh.
Aku bertahan karena mereka.
Karena tiga anak kecil yang memanggilku Mama dengan mata penuh harapan.
Mereka tidak pernah tahu seperti apa rasa kosong yang diam-diam terus menjeratku.
Aku hanya tahu satu hal:
Aku tidak mau mereka merasakan apa yang aku rasakan dulu.
Aku tahu rasanya tumbuh dengan hati yang setengah,
dengan bayangan keluarga yang tidak utuh,
dengan tangis yang ditahan karena tak tahu harus bercerita pada siapa.
Banyak orang bilang, "Tapi kamu punya kakak-kakak…"
Iya, aku memang punya. Tapi tetap saja… kesepian itu tak pernah benar-benar pergi.
Kadang aku merasa seperti anak kecil yang tersesat—di dunia yang terus menuntutku jadi kuat.
Sekarang aku sudah jadi istri.
Sudah jadi ibu.
Sudah punya keluarga kecilku sendiri.
Tapi… kenapa rasanya tetap sepi?
Kenapa luka itu tetap terasa, meski sudah bertahun-tahun berlalu?
Ada suami, tapi kadang aku merasa lebih sendiri dibanding saat aku masih gadis.
Ada anak-anak, tapi kadang aku merasa aku tak punya siapa-siapa.
Lucu ya, bagaimana seseorang bisa begitu penuh oleh cinta… tapi merasa begitu kosong di dalam?
Aku tak sedang minta dikasihani.
Aku hanya ingin jujur,
bahwa di balik semua ketegaran yang orang lihat…
aku ini masih gadis kecil yang hatinya tak pernah benar-benar sembuh.
Tapi aku tetap di sini.
Untuk mereka.
Untuk anak-anakku.
Karena kalau aku menyerah, siapa yang akan melindungi mereka dari rasa yang pernah meremukkan hatiku?
Aku tak ingin mereka mewarisi lukaku.
Cukuplah aku yang belajar bernapas dalam hening.
—Dari aku, yang tetap bertahan, meski hati sudah lama lelah.
Luka yang Tak Bisa Kudiamkan Lagi
Hari ini, aku merasa kosong.
Bukan karena tidak ada orang di sekelilingku… tapi karena hatiku sudah terlalu sering merasa sendiri, bahkan saat sedang bersama.
Aku lelah.
Bukan hanya karena aktivitas harian atau kelelahan fisik sebagai ibu. Tapi karena aku terus memendam sesuatu yang tak bisa kusampaikan dengan kata-kata.
Sesuatu yang sudah lama mengganjal, tapi tak kunjung sembuh.
Luka itu… masih ada.
Meski semua orang bilang aku harusnya sudah move on.
Harusnya sudah melupakan.
Harusnya sudah memaafkan.
Tapi bagaimana caranya memaafkan kalau aku sendiri belum pernah benar-benar didengarkan?
Bagaimana bisa melupakan kalau yang menyakitiku seolah tak pernah merasa bersalah?
Yang paling menyakitkan bukan saat dia menyakiti,
tapi saat aku mulai percaya bahwa mungkin aku memang pantas disakiti.
Kadang aku benci diriku sendiri.
Karena masih berharap, masih menunggu perubahan,
padahal hatiku tahu — aku sedang berdiri sendirian dalam doa yang tak pernah dijawab.
Aku ingin sembuh.
Tapi aku juga ingin dimengerti, bukan dipaksa kuat.
Aku ingin dicintai, bukan dituntut sempurna.
Aku ingin menjadi aku… tanpa harus berpura-pura baik-baik saja.
Hari ini, aku menulis bukan karena aku sudah kuat.
Tapi karena aku tak ingin semakin rapuh hanya karena diam.
Semoga satu hari nanti, aku bisa membaca tulisan ini sambil tersenyum…
karena aku tahu aku pernah bertahan, bahkan saat hatiku retak.
— dari aku, yang sedang berusaha menemukan kembali dirinya sendiri.
Tentang Luka yang Tak Terlihat
Hari ini aku kembali berpura-pura.
Pura-pura bahagia. Pura-pura baik-baik saja. Pura-pura punya cinta yang utuh di rumah yang katanya tempat pulang.
Kadang aku merasa jahat…
Karena saat bersamanya, pikiranku justru melayang ke sosok yang hanya hidup dalam khayalanku.
Seseorang yang lembut, yang sabar, yang tahu cara mencintai tanpa menyakiti.
Bukan dia. Bukan yang ada di sampingku.
Aku pernah mencintainya. Sangat.
Tapi rasa itu entah sejak kapan mulai memudar… atau mungkin hilang saat hatiku tak lagi dijaga.
Lucunya, tubuh ini tetap menyatu, tapi jiwaku menjauh.
Dan setiap kali aku harus pura-pura terlibat, aku semakin hampa.
Karena yang kucari bukan sekadar pelukan—tapi ketulusan yang dulu pernah ada.
Apakah aku salah? Karena ingin dicintai seperti yang kulihat di film-film?
Atau karena mulai ragu apakah aku masih cukup berharga untuk diperjuangkan?
Terkadang aku bertanya…
Apakah aku sedang mencintai sosok khayalan? Atau sebenarnya aku hanya hampa dan bosan??
Yang jelas, malam ini… aku merasa kosong.
Dan aku hanya ingin ada yang mendengarkan, tanpa menghakimi.
Bukan untuk mencari solusi, hanya ingin dipahami.
—Dari hati yang sedang berjuang untuk tetap bertahan
dan tetap menjadi ibu yang utuh meski hati sering retak.