Aku masih di sini.
Masih bangun setiap pagi, menyiapkan semuanya, tersenyum di depan anak-anak—seolah semuanya baik-baik saja. Padahal... hatiku masih penuh dengan serpihan luka yang belum sempat kugenggam dengan utuh.
Aku bertahan karena mereka.
Karena tiga anak kecil yang memanggilku Mama dengan mata penuh harapan.
Mereka tidak pernah tahu seperti apa rasa kosong yang diam-diam terus menjeratku.
Aku hanya tahu satu hal:
Aku tidak mau mereka merasakan apa yang aku rasakan dulu.
Aku tahu rasanya tumbuh dengan hati yang setengah,
dengan bayangan keluarga yang tidak utuh,
dengan tangis yang ditahan karena tak tahu harus bercerita pada siapa.
Banyak orang bilang, "Tapi kamu punya kakak-kakak…"
Iya, aku memang punya. Tapi tetap saja… kesepian itu tak pernah benar-benar pergi.
Kadang aku merasa seperti anak kecil yang tersesat—di dunia yang terus menuntutku jadi kuat.
Sekarang aku sudah jadi istri.
Sudah jadi ibu.
Sudah punya keluarga kecilku sendiri.
Tapi… kenapa rasanya tetap sepi?
Kenapa luka itu tetap terasa, meski sudah bertahun-tahun berlalu?
Ada suami, tapi kadang aku merasa lebih sendiri dibanding saat aku masih gadis.
Ada anak-anak, tapi kadang aku merasa aku tak punya siapa-siapa.
Lucu ya, bagaimana seseorang bisa begitu penuh oleh cinta… tapi merasa begitu kosong di dalam?
Aku tak sedang minta dikasihani.
Aku hanya ingin jujur,
bahwa di balik semua ketegaran yang orang lihat…
aku ini masih gadis kecil yang hatinya tak pernah benar-benar sembuh.
Tapi aku tetap di sini.
Untuk mereka.
Untuk anak-anakku.
Karena kalau aku menyerah, siapa yang akan melindungi mereka dari rasa yang pernah meremukkan hatiku?
Aku tak ingin mereka mewarisi lukaku.
Cukuplah aku yang belajar bernapas dalam hening.
—Dari aku, yang tetap bertahan, meski hati sudah lama lelah.
0 komentar:
Post a Comment