Laman

Ada Hal yang Tak Pernah Terlihat dari Luar

Di balik seorang perempuan yang tampak tenang, sering kali tersimpan cerita yang tidak pernah diucapkan. Ada luka yang masih membekas, ada trauma yang belum benar-benar pulih, dan ada air mata yang jatuh diam-diam tanpa seorang pun tahu.

Kehilangan yang paling menyakitkan sebenarnya bukan saat ditinggalkan orang lain, melainkan ketika perlahan kita kehilangan diri sendiri. Saat bercermin tapi tak lagi mengenali sosok yang ada di sana. Bukan bahagia, bukan sedih… hanya hampa. Seakan hidup berjalan, tapi jiwa tertinggal entah di mana.

Namun, meski penuh retakan, kamu masih di sini. Masih bertahan di tengah hari-hari yang tidak selalu ramah. Dan itu bukan kelemahan. Itu adalah bentuk keberanian yang sering tidak kamu sadari.

Pelan-pelan, izinkan dirimu untuk memilih diri sendiri lagi. Beri ruang bagi hatimu untuk beristirahat. Ingat, kamu layak sembuh, kamu layak bahagia, kamu layak menjalani hidup yang utuh—bukan sekadar bertahan.

Karena seorang perempuan bukan hanya ibu, istri, atau anak. Dia juga manusia yang butuh dipeluk oleh dirinya sendiri.



Sunyi yang Menenangkan

Ada hari-hari di mana aku ingin pergi…Bukan untuk lari, tapi untuk menemukan kembali diriku yang hilang dalam ributnya dunia.

Aku ingin sendiri di tempat yang tenang.

Tidak perlu jauh, asal cukup sunyi.

Cukup ada aku… dan suara hening yang tidak menuntut, tidak menyuruh apa-apa.

Di sana, aku ingin tidur tanpa beban.

Menangis tanpa ditanya.

Diam tanpa dicurigai.

Aku hanya ingin jeda.

Sejenak dari semuanya.

Karena hatiku lelah jadi kuat setiap hari tanpa tempat pulang yang benar-benar memahami.

💗 Mau sendiri itu gak egois. Itu tanda kamu sedang butuh pulih. Dan pulih itu juga butuh tempat, bukan hanya waktu.



Diary Seorang Ibu: Saat Hati Mulai Hampa


“Kadang kita bertahan bukan karena masih cinta, tapi karena ada jiwa-jiwa kecil yang menjadi alasan untuk tetap berdiri.”

Aku nggak tahu sejak kapan senyumku ke suami mulai hilang. Rasanya sekarang susah sekali untuk dekat dengannya. Hatiku seperti sudah menolak, seolah ada tembok tinggi yang memisahkan. Aku masih bertahan—bukan karena cinta lagi, tapi demi anak-anak. Tapi kenapa rasanya jadi hampa sekali ya?

Jujur, aku muak. Setelah melahirkan, aku diselingkuhi. Bukan sekali, tapi tiga kali. Alasannya karena aku sering menolak saat dia ingin "itu". Bagaimana aku bisa semangat? Badanku lelah, pikiranku capek, emosiku naik turun setelah melahirkan. Tapi dia tak peka, tak mau disalahkan, dan tak pernah benar-benar mau mendengar. Katanya aku pun begitu. Akhirnya kami sama-sama muak. Hanya saja, aku masih memilih bertahan. Demi anak-anak.

Tapi, sehatkah ini?

Aku sering bertanya pada diri sendiri. Mungkin tidak sehat, karena aku bertahan dengan hati yang kosong. Aku bertahan dengan luka yang belum sembuh. Tapi aku juga tidak sanggup berpisah dan harus kehilangan anak-anak. Suami pernah bilang kalau kami pisah, dia akan minta satu anak. Dan aku tidak bisa—aku tidak percaya anak diasuh olehnya. Jadi aku memilih cara lain: bertahan tapi menjaga batas. Kami seperti teman serumah yang fokus pada anak, bukan lagi pasangan yang saling mencintai.

Namun masalahnya, kadang emosi yang kupendam ke suami malah tumpah ke anak. Aku jadi gampang ngomel, teriak, bahkan memukul ketika mereka membuat kesalahan kecil. Setelahnya selalu ada rasa sesal. Karena aku tahu, anak-anak tidak layak jadi pelampiasan luka hatiku.

Aku sadar, aku butuh belajar menahan diri. Butuh ruang untuk sembuh. Butuh cara agar anak tetap merasa dicintai, meski aku sendiri sering merasa kosong. Anak tidak butuh ibu yang sempurna, tapi mereka butuh ibu yang mau terus berusaha.

Inilah catatan untuk diriku: bahwa meski jalannya terasa berat, aku masih bisa memilih untuk memperbaiki. Aku mungkin tidak bisa memaksa suami berubah, tapi aku bisa belajar menjaga diriku, menjaga anak-anak, dan perlahan belajar berdamai dengan semua luka ini.

“Aku ingin anak-anakku tetap melihat senyumku, meski hatiku penuh luka. Karena senyum ibulah yang membuat mereka merasa dunia tetap aman.”

Hari Ini, Aku Mulai Melihat Diriku dengan Cara Berbeda



Hari ini… entah kenapa aku ingin menulis.

Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk aku sendiri.
Untuk mengingatkan, bahwa aku pernah berada di titik ini.

Titik di mana aku sering merasa kecil di hadapan orang lain.
Titik di mana aku takut terlihat bodoh, takut salah, takut orang menganggapku tak berharga.

Aku dulu pikir, ini cuma sifatku.
Ternyata tidak.
Ini adalah kebiasaan yang terbentuk dari suara-suara yang pernah aku dengar, dari perlakuan yang membuatku merasa tak cukup.
Dan tanpa sadar, aku memelihara suara itu di kepalaku setiap hari.

Tapi hari ini… aku ingin mencoba hal baru.
Bukan jadi orang yang tiba-tiba super percaya diri, bukan.
Aku cuma ingin belajar berdiri tanpa terus menunduk.
Belajar bicara tanpa terus takut salah.
Belajar melihat diriku, bukan dari kacamata orang lain, tapi dari hatiku sendiri.

Mungkin jalannya pelan.
Mungkin aku akan jatuh dan mundur beberapa langkah.
Tapi aku ingin mengingat: setiap langkah kecil pun tetap sebuah kemajuan.

Hari ini, aku mulai.
Bukan untuk membuat semua orang kagum.
Tapi untuk membuat aku sendiri percaya…
Bahwa aku cukup.
Bahwa aku layak.
Bahwa aku bisa.



Diam Bukan Berarti Baik-Baik Saja




Sekarang aku sudah sampai di titik… rasanya percuma bicara.
Bukan karena aku nggak punya kata-kata, tapi karena aku tahu, kata-kata itu hanya akan berakhir jadi pertengkaran. Aku sudah mencoba, berkali-kali. Tapi setiap kali aku membuka mulut, ujungnya sama: suara yang meninggi, hati yang terluka, dan masalah yang tetap nggak berubah.

Jadi aku memilih diam.
Bukan karena aku setuju, bukan karena aku ikhlas. Tapi karena aku butuh menjaga diriku sendiri. Diam ini adalah tameng terakhirku supaya aku nggak semakin hancur.

Lucunya, dari luar mungkin orang akan lihat rumahku baik-baik saja.
Padahal di dalamnya, ada aku yang sedang belajar mengatur napas sambil menahan rasa kesepian. Ada aku yang memalingkan wajah saat ingin marah, karena aku tahu… sekali aku bicara, semuanya akan pecah.

Kadang aku ingin dia peka, membaca lelah di mataku tanpa aku harus mengeja. Tapi nyatanya, peka itu nggak bisa dipaksa. Dan setiap harapanku pupus, aku makin belajar: jangan terlalu berharap.

Sekarang aku hanya berusaha bertahan.
Bukan demi diriku saja, tapi demi anak-anak yang butuh ibunya tetap berdiri. Walau ada hari-hari di mana aku merasa sendirian, aku tetap bangun setiap pagi dan melakukan semuanya lagi.

Diamku bukan tanda damai.
Diamku adalah cara terakhirku menjaga sisa hatiku.



Ganti Shift yang Nggak Pernah Datang



Hari ini rasanya aku cuma jadi mesin yang nggak ada tombol pause-nya. Dari subuh sampai malam, hidupku dipenuhi suara—suara anak yang minta ini itu, suara piring di dapur, suara cucian yang menunggu dilipat, dan suara hatiku sendiri yang kadang pelan-pelan minta diperhatikan.

Tapi begitu suami pulang kerja, bukan suara tawa atau sapaan yang menyambut, melainkan suara notifikasi dari HP-nya. Dia langsung duduk, buka layar ponsel, tenggelam di dunianya sendiri.

Katanya, “Capek kerja.”
Aku ngerti. Aku tahu nyari uang itu nggak mudah. Tapi… apa dia nggak lihat kalau aku juga capek? Bedanya, capekku nggak ada jam pulang. Capekku nggak dibayar, nggak ada cuti, dan nggak ada penghargaan “pegawai teladan”.

Kadang aku cuma pengin dia bergerak sendiri tanpa disuruh. Peka sama keadaan rumah, langsung turun tangan kalau lihat aku kewalahan. Tapi entah kenapa, itu cuma kejadian langka—bisa dihitung pakai jari.

Yang sering, aku harus minta tolong dulu. Itu pun kadang nggak langsung dilakukan. Dibilangnya, “Ntar.” Tapi “ntar”-nya entah kapan. Kalau aku ulang lagi, dibilang cerewet. Kalau aku ulang berkali-kali, dia malah marah. Sakit rasanya. Capeknya bukan cuma di badan, tapi sampai ke hati.

Kadang aku berharap dia pulang, lihat mataku yang lelah, lalu bilang,
“Sini, aku pegang anaknya. Kamu istirahat sebentar.”
Biar aku bisa duduk lima menit tanpa ada yang memanggil “Bun” setiap tiga detik.

Aku nggak butuh hadiah besar, cukup rasa peduli yang nyata. Biar aku tahu, aku nggak sendirian di medan perang kecil bernama rumah.

Entah kenapa, malam ini aku cuma ingin bilang:
Aku juga butuh ganti shift.



Untuk Diriku yang Sedang Merasa Kecil


Hari ini, aku merasa… kecil sekali.

Seperti tidak berguna.
Seperti semua yang kulakukan selalu salah.
Sebagai istri, aku sering merasa tidak cukup.
Sebagai ibu, aku takut gagal.
Dan untuk diriku sendiri… aku bahkan lupa seperti apa rasanya bangga pada diri ini.

Aku tahu, aku tidak sempurna.
Tapi kadang aku lupa, betapa banyak hal yang sudah kulalui. Aku lupa kalau aku pernah kuat — dan sebenarnya, aku masih kuat.
Kuat menahan air mata di tengah malam.
Kuat tetap tersenyum di depan anak, meski hatiku patah.
Kuat menjalani hari demi hari tanpa banyak mengeluh, meski ada rasa sepi yang menjerit di dalam diri.

Mungkin sekarang aku belum melihat jelas kelebihanku.
Tapi hari ini aku mau percaya, bahwa sekecil apa pun langkahku, itu berarti.
Membuatkan sarapan untuk anak-anak itu berarti.
Mendengarkan mereka bercerita itu berarti.
Menjaga rumah tetap berdiri, meski hatiku runtuh, itu berarti.

Untuk diriku,
terima kasih sudah bertahan sejauh ini.
Tidak semua orang bisa, tapi kamu bisa.
Suatu hari nanti, kamu akan melihat dirimu di masa ini dan berkata,
“Aku bangga pada perempuan itu. Dia adalah aku.”



Bertahan, Bukan Karena Kita Satu Pandangan



Selama ini, aku sering merasa kita seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama. Kita ada, tapi jarang benar-benar hadir untuk satu sama lain.

Tidak ada cerita yang dibagi. Tidak ada tawa yang dibagi. Tidak ada pandangan yang bertemu di tengah.

Kita beda.
Beda cara berpikir.
Beda pola asuh.
Beda cara memandang hidup.
Seolah apa yang penting bagiku, tak pernah jadi prioritasmu. Dan mungkin begitu juga sebaliknya.

Aku capek. Bukan hanya karena mengurus rumah dan anak, tapi karena mengurus hati sendiri agar tetap kuat. Rasanya lelah ketika semua yang aku lakukan, bahkan cerita kecilku, seolah tak berarti di matamu.

Tapi kita tetap di sini.
Bukan karena kita sudah menemukan benang merah.
Bukan karena kita sudah saling memahami.
Tapi karena kita memilih bertahan… untuk anak.
Kita sama-sama tahu, di balik semua perbedaan ini, ada satu hal yang masih sama: kita ingin anak-anak tumbuh dengan orang tua yang ada untuk mereka.

Entah sampai kapan.
Entah dengan cara apa.
Yang aku tahu, hari ini aku masih di sini — mencoba menjaga rumah ini tetap utuh, meski hatiku tak lagi utuh.



Untuk diriku yang sedang belajar jadi ibu

Hai, diriku yang sedang berjuang…

Aku tahu kamu ingin jadi ibu yang lembut.
Yang tak pernah marah, tak pernah membentak, tak pernah menyakiti.
Kamu ingin jadi tempat ternyaman untuk anak-anakmu.
Dan itu… adalah niat yang sangat indah.

Tapi aku juga tahu, hidupmu tidak selalu mudah.
Ada lelah yang tak sempat dijelaskan.
Ada emosi yang tak sempat dimengerti.
Ada hari-hari ketika kamu merasa tak kuat,
dan tak tahu harus mengadu ke siapa.

Tidak apa-apa.
Kamu tidak salah karena merasa itu semua.

Kamu bukan ibu yang buruk.
Kamu hanya sedang kelelahan.
Dan kamu berhak untuk berhenti sejenak,
untuk mengenali dirimu lagi.

Jangan terus menerus menuntut dirimu sempurna.
Kamu bukan robot, kamu bukan malaikat.
Kamu manusia — yang sedang belajar.

Kalau kamu pernah marah,
tapi lalu menyesal dan belajar meminta maaf,
itu juga bentuk cinta.
Kalau kamu pernah lelah,
tapi tetap memeluk anakmu dengan sepenuh hati,
itu juga keajaiban.

Pelan-pelan, ya…
Jadilah ibu yang bahagia — bukan karena hidup selalu mudah,
tapi karena kamu memilih untuk tetap tumbuh,
meski dalam tangis dan peluh.

Aku bangga padamu.
🌸

Aku Tidak Butuh Kamu Sekadar Membantu, Aku Butuh Kamu Hadir


Hari ini aku kembali merasa seperti sendirian di rumah ini. Rasanya bukan cuma soal pekerjaan rumah atau anak yang rewel, tapi lebih ke rasa kosong karena orang yang seharusnya jadi partner hidupku tidak benar-benar hadir.

Aku lelah kalau semua harus dimintai tolong. Sekali aku minta, sering kali tak direspons. Kalau aku ulangi, dibilang cerewet. Dan yang paling menyakitkan adalah ketika aku akhirnya marah karena kelelahan, malah aku yang dimarahi balik.

Satu hal yang membuatku makin sesak adalah ketika dia berkata, “Aku kan sudah bantuin kamu kemarin,” padahal yang dia lakukan hanya sesekali. Seolah-olah satu kali membantu bisa menggugurkan semua rasa capekku setiap hari. Padahal yang aku butuhkan bukan bantuan sesaat. Aku butuh keterlibatan yang konsisten. Aku butuh kepekaan. Aku ingin merasa bahwa rumah tangga ini adalah milik kita berdua, bukan hanya aku yang memikul semuanya.

Aku tidak ingin dianggap sebagai istri yang menuntut. Aku hanya ingin dihargai sebagai pasangan hidup, yang suaranya didengar, yang lelahnya dilihat. Aku ingin dia tahu, aku butuh dia ada… bukan hanya ketika aku memintanya, tapi karena dia merasa itu adalah bagian dari dirinya sebagai suami dan ayah.

Hari ini aku menulis ini dengan hati yang berat. Karena aku sadar, aku rindu sekali rasanya punya pasangan yang benar-benar hadir.



Jika berpisah apakah aku egois terhadap anak?

Sudah 2 tahun sejak kejadian terakhir kalinya itu di akhir 2023. Masih terukir diingatan dengan jelas. Rasanya sakit sekali ke tiga kalinya aku merasakan seperti itu. Dan 2 tahun ini ternyata bisa aku lewati walau dengan air mata. Tapi melihat anak2 sehat rasanya sudah cukup bagiku.
--------------

Hari ini aku kembali menatap wajah anak-anakku yang sedang tidur. Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku, tapi satu yang paling sering menghantui adalah:
“Apakah aku egois jika bercerai?”

Aku bertanya itu pada diriku sendiri berkali-kali. Karena aku adalah ibu, dan seorang ibu selalu memikirkan anak-anaknya sebelum dirinya sendiri.

Tapi malam ini, aku ingin menjawab dengan jujur pada diriku sendiri:
Tidak. Aku tidak egois jika bercerai.
Dan tidak, aku tidak sedang menyakiti anak-anak.
Aku justru sedang melindungi mereka dari luka yang lebih dalam.

---
Kenapa tidak egois?

Bertahan dalam hubungan yang dingin, penuh diam, tanpa cinta dan penghargaan… ternyata lebih menyakitkan daripada yang bisa kubayangkan. Anak-anak memang tidak melihat kami bertengkar. Tapi mereka bisa merasakannya.

Anak bisa merasakan ketika ibunya tidak bahagia.
Anak bisa meniru pola cinta yang salah ketika dewasa.
Anak bisa tumbuh dengan keyakinan bahwa rumah adalah tempat di mana cinta harus dikorbankan.

Dan aku tidak mau itu terjadi.

Memilih bercerai bukanlah keegoisan. Itu adalah keberanian untuk menyelamatkan diri dan anak-anakku dari hidup yang setengah-setengah.

---
Apakah anak akan tersakiti?

Mungkin iya. Tapi hanya sesaat. Dan aku bisa membimbing mereka melewati itu.

Karena luka anak bukan berasal dari perceraian, tapi dari bagaimana orang tuanya bersikap setelah berpisah.

Jika setelah bercerai…

Aku tetap hadir penuh cinta untuk mereka.

Ayah mereka tetap ada meski tidak tinggal serumah.

Rumah tetap tenang, tidak penuh tekanan dan air mata…

Aku percaya anak-anak akan tetap tumbuh sehat. Bahkan mungkin lebih baik daripada jika mereka dipaksa tinggal dalam rumah yang kosong cinta.

---
Aku ingin anak-anakku melihat ibunya bahagia

Aku tidak ingin mereka hanya mendapat “setengah diriku” yang terus berjuang dengan hati yang hancur.
Aku ingin mereka melihatku bangkit, jujur pada diri sendiri, dan memulai hidup baru dengan ketenangan.

Aku ingin mereka tahu:
Ibu yang bahagia akan menumbuhkan anak-anak yang kuat.

---
Hari ini aku menulis ini sebagai pengingat untuk diriku sendiri:
Bukan perceraian yang menyakiti anak-anak. Tapi rumah yang penuh luka pura-pura bahagia, itulah yang pelan-pelan membuat mereka bingung tentang arti cinta.

Aku tidak akan takut lagi. Karena aku tahu, apapun yang kupilih nanti, itu akan selalu datang dari tempat yang penuh cinta untuk anak-anakku.

---
🌸 Kalimat penguat:
"Aku layak bahagia, layak dicintai dengan benar, dan anak-anakku layak melihat ibunya hidup dengan hati yang utuh."

“Aku Layak Bahagia dan Dicintai dengan Benar”

Hari ini aku kembali teringat semua luka itu. Bayangan perselingkuhan yang pernah terjadi datang lagi menghantui. Rasanya sesak, seperti ada yang menekan dadaku. Kadang aku berpikir, apakah aku ini pantas dicintai? Kenapa semua ini terjadi padaku?

Aku sering menyalahkan diriku sendiri. Aku mencoba berpikir kalau aku berubah, mungkin semuanya akan lebih baik. Tapi nyatanya, meski aku berusaha sekuat tenaga, kehidupan ini tetap terasa sama. Luka itu tetap ada.

Dan hari ini aku menyadari sesuatu: menyalahkan diri sendiri tidak akan membuatku bahagia. Menyalahkan diri sendiri tidak akan merubah perilaku orang lain. Aku hanya jadi semakin lelah dan merasa tidak berharga.

Aku harus mulai percaya satu hal:
Aku layak bahagia. Aku layak dicintai dengan benar. Dan aku akan terus mengingat itu setiap hari.

Aku ingin bebas dari rasa sakit ini. Bebas bukan berarti harus pergi atau meninggalkan semuanya saat ini juga, tapi bebas dari beban di hatiku sendiri. Aku ingin berdamai dengan diriku sendiri dulu.

Aku tidak bisa mengontrol orang lain. Aku tidak bisa memaksa seseorang setia atau mencintaiku dengan tulus. Tapi aku bisa memilih untuk menjaga diriku sendiri. Aku bisa memilih untuk tetap berdiri, demi anak-anakku, demi diriku.

Mungkin hari ini aku masih menangis. Tapi aku yakin suatu hari nanti, aku akan melihat ke belakang dan berkata pada diriku:
"Terima kasih, sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih, sudah memilih untuk sembuh."

Aku akan terus mengingat kalimat ini setiap hari…
🌸 “Aku layak bahagia, layak dicintai dengan benar, dan aku akan terus mengingat itu setiap hari.” 🌸

“Untuk Diriku di Masa Depan”

Hai diriku yang sedang membaca ini,
Aku tahu, saat ini kamu mungkin masih merasakan luka yang sama. Kamu mungkin masih bertanya-tanya kenapa semua ini harus terjadi. Tapi aku ingin kamu membaca surat ini dengan hati yang pelan: kamu sudah berjuang dengan sangat luar biasa.

Kamu mungkin lelah, tapi lihatlah… kamu tetap berdiri. Kamu tetap merawat anak-anak dengan penuh cinta meski hatimu berkeping-keping. Itu adalah bentuk kekuatan yang bahkan kamu sendiri sering lupakan.

Aku ingin kamu tahu, kamu tidak salah karena memilih bertahan. Kamu juga tidak salah jika suatu hari nanti kamu memilih untuk melepaskan. Apapun keputusanmu, aku percaya itu adalah yang terbaik untukmu dan anak-anak.

Aku ingin kamu berjanji:

Jangan pernah lagi membiarkan orang lain meruntuhkan harga dirimu.

Jangan lupa bahwa kamu juga perempuan yang berhak bahagia.

Jangan abaikan mimpimu. Anak-anakmu butuh ibu yang sehat lahir batin, bukan yang terus memendam luka.


Kelak, mungkin kamu sudah berada di tempat yang lebih tenang. Atau mungkin kamu masih menjalani hari-hari yang berat. Apapun itu, aku ingin kamu percaya bahwa badai ini pasti akan reda.

Dan ketika kamu merasa ingin menyerah, bacalah ini lagi:
Kamu berharga. Kamu cukup. Kamu layak dicintai dengan benar.

Peluk erat untukmu,
Aku yang sedang belajar sembuh 🌸

Apakah Aku Sedang Mati Rasa? (Catatan Seorang Istri yang Pernah Dikhianati)

Dear diriku sendiri,

Kadang aku bertanya-tanya, apakah hatiku masih sama seperti dulu?
Dulu aku begitu mudah tersenyum saat mendengar suamiku pulang. Dulu setiap obrolan kecil rasanya hangat. Tapi sekarang… bahkan untuk sekadar menyapa pun aku harus memaksa diri.

Aku merasa aneh.
Kenapa justru sosok suami yang ada di khayalan selalu hadir? Sosok yang sabar, penuh cinta, yang memelukku ketika aku lelah. Sosok yang… bukan dia yang ada di dunia nyata.
Apakah ini berarti aku mati rasa?

Mungkin ini bukan sekadar lelah.
Mungkin ini akibat luka yang terlalu dalam. Luka yang muncul ketika dikhianati berkali-kali, hingga hatiku memilih untuk menutup diri. Aku tidak ingin sakit lagi. Dan satu-satunya cara yang kutemukan adalah membiarkan jarak tetap ada.

Aku sadar, aku berubah.
Bukan aku tidak ingin dekat, tapi aku takut kecewa lagi. Aku takut terlalu berharap, lalu hancur di ujungnya. Aku takut cintaku tak dihargai seperti dulu.

Dan yang paling menyedihkan, aku jadi terbiasa.
Terbiasa bicara seperlunya.
Terbiasa menyimpan cerita sendiri.
Terbiasa hidup tanpa kehangatan yang dulu pernah ada.

Aku tahu ini bukan jalan yang sehat, tapi inilah caraku bertahan untuk saat ini.
Aku hanya ingin sembuh. Aku ingin merasakan lagi bahwa aku pantas dicintai. Aku ingin kembali percaya, meski entah kapan hati ini benar-benar siap.

Untuk diriku sendiri…
Tidak apa-apa kalau sekarang terasa hampa.
Tidak apa-apa kalau butuh waktu.
Aku ingin pelan-pelan kembali mengenali hatiku, mencintai diriku sendiri lebih dulu, sebelum bisa mencintai orang lain sepenuhnya.

Karena aku tahu, aku layak bahagia.

– Catatan hati seorang istri yang sedang belajar sembuh.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...