Sekarang aku sudah sampai di titik… rasanya percuma bicara.
Bukan karena aku nggak punya kata-kata, tapi karena aku tahu, kata-kata itu hanya akan berakhir jadi pertengkaran. Aku sudah mencoba, berkali-kali. Tapi setiap kali aku membuka mulut, ujungnya sama: suara yang meninggi, hati yang terluka, dan masalah yang tetap nggak berubah.
Jadi aku memilih diam.
Bukan karena aku setuju, bukan karena aku ikhlas. Tapi karena aku butuh menjaga diriku sendiri. Diam ini adalah tameng terakhirku supaya aku nggak semakin hancur.
Lucunya, dari luar mungkin orang akan lihat rumahku baik-baik saja.
Padahal di dalamnya, ada aku yang sedang belajar mengatur napas sambil menahan rasa kesepian. Ada aku yang memalingkan wajah saat ingin marah, karena aku tahu… sekali aku bicara, semuanya akan pecah.
Kadang aku ingin dia peka, membaca lelah di mataku tanpa aku harus mengeja. Tapi nyatanya, peka itu nggak bisa dipaksa. Dan setiap harapanku pupus, aku makin belajar: jangan terlalu berharap.
Sekarang aku hanya berusaha bertahan.
Bukan demi diriku saja, tapi demi anak-anak yang butuh ibunya tetap berdiri. Walau ada hari-hari di mana aku merasa sendirian, aku tetap bangun setiap pagi dan melakukan semuanya lagi.
Diamku bukan tanda damai.
Diamku adalah cara terakhirku menjaga sisa hatiku.
0 komentar:
Post a Comment