Hari ini rasanya aku cuma jadi mesin yang nggak ada tombol pause-nya. Dari subuh sampai malam, hidupku dipenuhi suara—suara anak yang minta ini itu, suara piring di dapur, suara cucian yang menunggu dilipat, dan suara hatiku sendiri yang kadang pelan-pelan minta diperhatikan.
Tapi begitu suami pulang kerja, bukan suara tawa atau sapaan yang menyambut, melainkan suara notifikasi dari HP-nya. Dia langsung duduk, buka layar ponsel, tenggelam di dunianya sendiri.
Katanya, “Capek kerja.”
Aku ngerti. Aku tahu nyari uang itu nggak mudah. Tapi… apa dia nggak lihat kalau aku juga capek? Bedanya, capekku nggak ada jam pulang. Capekku nggak dibayar, nggak ada cuti, dan nggak ada penghargaan “pegawai teladan”.
Kadang aku cuma pengin dia bergerak sendiri tanpa disuruh. Peka sama keadaan rumah, langsung turun tangan kalau lihat aku kewalahan. Tapi entah kenapa, itu cuma kejadian langka—bisa dihitung pakai jari.
Yang sering, aku harus minta tolong dulu. Itu pun kadang nggak langsung dilakukan. Dibilangnya, “Ntar.” Tapi “ntar”-nya entah kapan. Kalau aku ulang lagi, dibilang cerewet. Kalau aku ulang berkali-kali, dia malah marah. Sakit rasanya. Capeknya bukan cuma di badan, tapi sampai ke hati.
Kadang aku berharap dia pulang, lihat mataku yang lelah, lalu bilang,
“Sini, aku pegang anaknya. Kamu istirahat sebentar.”
Biar aku bisa duduk lima menit tanpa ada yang memanggil “Bun” setiap tiga detik.
Aku nggak butuh hadiah besar, cukup rasa peduli yang nyata. Biar aku tahu, aku nggak sendirian di medan perang kecil bernama rumah.
Entah kenapa, malam ini aku cuma ingin bilang:
Aku juga butuh ganti shift.
0 komentar:
Post a Comment