Laman

Ada Hal yang Tak Pernah Terlihat dari Luar

Di balik seorang perempuan yang tampak tenang, sering kali tersimpan cerita yang tidak pernah diucapkan. Ada luka yang masih membekas, ada trauma yang belum benar-benar pulih, dan ada air mata yang jatuh diam-diam tanpa seorang pun tahu.

Kehilangan yang paling menyakitkan sebenarnya bukan saat ditinggalkan orang lain, melainkan ketika perlahan kita kehilangan diri sendiri. Saat bercermin tapi tak lagi mengenali sosok yang ada di sana. Bukan bahagia, bukan sedih… hanya hampa. Seakan hidup berjalan, tapi jiwa tertinggal entah di mana.

Namun, meski penuh retakan, kamu masih di sini. Masih bertahan di tengah hari-hari yang tidak selalu ramah. Dan itu bukan kelemahan. Itu adalah bentuk keberanian yang sering tidak kamu sadari.

Pelan-pelan, izinkan dirimu untuk memilih diri sendiri lagi. Beri ruang bagi hatimu untuk beristirahat. Ingat, kamu layak sembuh, kamu layak bahagia, kamu layak menjalani hidup yang utuh—bukan sekadar bertahan.

Karena seorang perempuan bukan hanya ibu, istri, atau anak. Dia juga manusia yang butuh dipeluk oleh dirinya sendiri.



Sunyi yang Menenangkan

Ada hari-hari di mana aku ingin pergi…Bukan untuk lari, tapi untuk menemukan kembali diriku yang hilang dalam ributnya dunia.

Aku ingin sendiri di tempat yang tenang.

Tidak perlu jauh, asal cukup sunyi.

Cukup ada aku… dan suara hening yang tidak menuntut, tidak menyuruh apa-apa.

Di sana, aku ingin tidur tanpa beban.

Menangis tanpa ditanya.

Diam tanpa dicurigai.

Aku hanya ingin jeda.

Sejenak dari semuanya.

Karena hatiku lelah jadi kuat setiap hari tanpa tempat pulang yang benar-benar memahami.

💗 Mau sendiri itu gak egois. Itu tanda kamu sedang butuh pulih. Dan pulih itu juga butuh tempat, bukan hanya waktu.



Diary Seorang Ibu: Saat Hati Mulai Hampa


“Kadang kita bertahan bukan karena masih cinta, tapi karena ada jiwa-jiwa kecil yang menjadi alasan untuk tetap berdiri.”

Aku nggak tahu sejak kapan senyumku ke suami mulai hilang. Rasanya sekarang susah sekali untuk dekat dengannya. Hatiku seperti sudah menolak, seolah ada tembok tinggi yang memisahkan. Aku masih bertahan—bukan karena cinta lagi, tapi demi anak-anak. Tapi kenapa rasanya jadi hampa sekali ya?

Jujur, aku muak. Setelah melahirkan, aku diselingkuhi. Bukan sekali, tapi tiga kali. Alasannya karena aku sering menolak saat dia ingin "itu". Bagaimana aku bisa semangat? Badanku lelah, pikiranku capek, emosiku naik turun setelah melahirkan. Tapi dia tak peka, tak mau disalahkan, dan tak pernah benar-benar mau mendengar. Katanya aku pun begitu. Akhirnya kami sama-sama muak. Hanya saja, aku masih memilih bertahan. Demi anak-anak.

Tapi, sehatkah ini?

Aku sering bertanya pada diri sendiri. Mungkin tidak sehat, karena aku bertahan dengan hati yang kosong. Aku bertahan dengan luka yang belum sembuh. Tapi aku juga tidak sanggup berpisah dan harus kehilangan anak-anak. Suami pernah bilang kalau kami pisah, dia akan minta satu anak. Dan aku tidak bisa—aku tidak percaya anak diasuh olehnya. Jadi aku memilih cara lain: bertahan tapi menjaga batas. Kami seperti teman serumah yang fokus pada anak, bukan lagi pasangan yang saling mencintai.

Namun masalahnya, kadang emosi yang kupendam ke suami malah tumpah ke anak. Aku jadi gampang ngomel, teriak, bahkan memukul ketika mereka membuat kesalahan kecil. Setelahnya selalu ada rasa sesal. Karena aku tahu, anak-anak tidak layak jadi pelampiasan luka hatiku.

Aku sadar, aku butuh belajar menahan diri. Butuh ruang untuk sembuh. Butuh cara agar anak tetap merasa dicintai, meski aku sendiri sering merasa kosong. Anak tidak butuh ibu yang sempurna, tapi mereka butuh ibu yang mau terus berusaha.

Inilah catatan untuk diriku: bahwa meski jalannya terasa berat, aku masih bisa memilih untuk memperbaiki. Aku mungkin tidak bisa memaksa suami berubah, tapi aku bisa belajar menjaga diriku, menjaga anak-anak, dan perlahan belajar berdamai dengan semua luka ini.

“Aku ingin anak-anakku tetap melihat senyumku, meski hatiku penuh luka. Karena senyum ibulah yang membuat mereka merasa dunia tetap aman.”

Hari Ini, Aku Mulai Melihat Diriku dengan Cara Berbeda



Hari ini… entah kenapa aku ingin menulis.

Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk aku sendiri.
Untuk mengingatkan, bahwa aku pernah berada di titik ini.

Titik di mana aku sering merasa kecil di hadapan orang lain.
Titik di mana aku takut terlihat bodoh, takut salah, takut orang menganggapku tak berharga.

Aku dulu pikir, ini cuma sifatku.
Ternyata tidak.
Ini adalah kebiasaan yang terbentuk dari suara-suara yang pernah aku dengar, dari perlakuan yang membuatku merasa tak cukup.
Dan tanpa sadar, aku memelihara suara itu di kepalaku setiap hari.

Tapi hari ini… aku ingin mencoba hal baru.
Bukan jadi orang yang tiba-tiba super percaya diri, bukan.
Aku cuma ingin belajar berdiri tanpa terus menunduk.
Belajar bicara tanpa terus takut salah.
Belajar melihat diriku, bukan dari kacamata orang lain, tapi dari hatiku sendiri.

Mungkin jalannya pelan.
Mungkin aku akan jatuh dan mundur beberapa langkah.
Tapi aku ingin mengingat: setiap langkah kecil pun tetap sebuah kemajuan.

Hari ini, aku mulai.
Bukan untuk membuat semua orang kagum.
Tapi untuk membuat aku sendiri percaya…
Bahwa aku cukup.
Bahwa aku layak.
Bahwa aku bisa.



Diam Bukan Berarti Baik-Baik Saja




Sekarang aku sudah sampai di titik… rasanya percuma bicara.
Bukan karena aku nggak punya kata-kata, tapi karena aku tahu, kata-kata itu hanya akan berakhir jadi pertengkaran. Aku sudah mencoba, berkali-kali. Tapi setiap kali aku membuka mulut, ujungnya sama: suara yang meninggi, hati yang terluka, dan masalah yang tetap nggak berubah.

Jadi aku memilih diam.
Bukan karena aku setuju, bukan karena aku ikhlas. Tapi karena aku butuh menjaga diriku sendiri. Diam ini adalah tameng terakhirku supaya aku nggak semakin hancur.

Lucunya, dari luar mungkin orang akan lihat rumahku baik-baik saja.
Padahal di dalamnya, ada aku yang sedang belajar mengatur napas sambil menahan rasa kesepian. Ada aku yang memalingkan wajah saat ingin marah, karena aku tahu… sekali aku bicara, semuanya akan pecah.

Kadang aku ingin dia peka, membaca lelah di mataku tanpa aku harus mengeja. Tapi nyatanya, peka itu nggak bisa dipaksa. Dan setiap harapanku pupus, aku makin belajar: jangan terlalu berharap.

Sekarang aku hanya berusaha bertahan.
Bukan demi diriku saja, tapi demi anak-anak yang butuh ibunya tetap berdiri. Walau ada hari-hari di mana aku merasa sendirian, aku tetap bangun setiap pagi dan melakukan semuanya lagi.

Diamku bukan tanda damai.
Diamku adalah cara terakhirku menjaga sisa hatiku.



Ganti Shift yang Nggak Pernah Datang



Hari ini rasanya aku cuma jadi mesin yang nggak ada tombol pause-nya. Dari subuh sampai malam, hidupku dipenuhi suara—suara anak yang minta ini itu, suara piring di dapur, suara cucian yang menunggu dilipat, dan suara hatiku sendiri yang kadang pelan-pelan minta diperhatikan.

Tapi begitu suami pulang kerja, bukan suara tawa atau sapaan yang menyambut, melainkan suara notifikasi dari HP-nya. Dia langsung duduk, buka layar ponsel, tenggelam di dunianya sendiri.

Katanya, “Capek kerja.”
Aku ngerti. Aku tahu nyari uang itu nggak mudah. Tapi… apa dia nggak lihat kalau aku juga capek? Bedanya, capekku nggak ada jam pulang. Capekku nggak dibayar, nggak ada cuti, dan nggak ada penghargaan “pegawai teladan”.

Kadang aku cuma pengin dia bergerak sendiri tanpa disuruh. Peka sama keadaan rumah, langsung turun tangan kalau lihat aku kewalahan. Tapi entah kenapa, itu cuma kejadian langka—bisa dihitung pakai jari.

Yang sering, aku harus minta tolong dulu. Itu pun kadang nggak langsung dilakukan. Dibilangnya, “Ntar.” Tapi “ntar”-nya entah kapan. Kalau aku ulang lagi, dibilang cerewet. Kalau aku ulang berkali-kali, dia malah marah. Sakit rasanya. Capeknya bukan cuma di badan, tapi sampai ke hati.

Kadang aku berharap dia pulang, lihat mataku yang lelah, lalu bilang,
“Sini, aku pegang anaknya. Kamu istirahat sebentar.”
Biar aku bisa duduk lima menit tanpa ada yang memanggil “Bun” setiap tiga detik.

Aku nggak butuh hadiah besar, cukup rasa peduli yang nyata. Biar aku tahu, aku nggak sendirian di medan perang kecil bernama rumah.

Entah kenapa, malam ini aku cuma ingin bilang:
Aku juga butuh ganti shift.



Untuk Diriku yang Sedang Merasa Kecil


Hari ini, aku merasa… kecil sekali.

Seperti tidak berguna.
Seperti semua yang kulakukan selalu salah.
Sebagai istri, aku sering merasa tidak cukup.
Sebagai ibu, aku takut gagal.
Dan untuk diriku sendiri… aku bahkan lupa seperti apa rasanya bangga pada diri ini.

Aku tahu, aku tidak sempurna.
Tapi kadang aku lupa, betapa banyak hal yang sudah kulalui. Aku lupa kalau aku pernah kuat — dan sebenarnya, aku masih kuat.
Kuat menahan air mata di tengah malam.
Kuat tetap tersenyum di depan anak, meski hatiku patah.
Kuat menjalani hari demi hari tanpa banyak mengeluh, meski ada rasa sepi yang menjerit di dalam diri.

Mungkin sekarang aku belum melihat jelas kelebihanku.
Tapi hari ini aku mau percaya, bahwa sekecil apa pun langkahku, itu berarti.
Membuatkan sarapan untuk anak-anak itu berarti.
Mendengarkan mereka bercerita itu berarti.
Menjaga rumah tetap berdiri, meski hatiku runtuh, itu berarti.

Untuk diriku,
terima kasih sudah bertahan sejauh ini.
Tidak semua orang bisa, tapi kamu bisa.
Suatu hari nanti, kamu akan melihat dirimu di masa ini dan berkata,
“Aku bangga pada perempuan itu. Dia adalah aku.”



Bertahan, Bukan Karena Kita Satu Pandangan



Selama ini, aku sering merasa kita seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama. Kita ada, tapi jarang benar-benar hadir untuk satu sama lain.

Tidak ada cerita yang dibagi. Tidak ada tawa yang dibagi. Tidak ada pandangan yang bertemu di tengah.

Kita beda.
Beda cara berpikir.
Beda pola asuh.
Beda cara memandang hidup.
Seolah apa yang penting bagiku, tak pernah jadi prioritasmu. Dan mungkin begitu juga sebaliknya.

Aku capek. Bukan hanya karena mengurus rumah dan anak, tapi karena mengurus hati sendiri agar tetap kuat. Rasanya lelah ketika semua yang aku lakukan, bahkan cerita kecilku, seolah tak berarti di matamu.

Tapi kita tetap di sini.
Bukan karena kita sudah menemukan benang merah.
Bukan karena kita sudah saling memahami.
Tapi karena kita memilih bertahan… untuk anak.
Kita sama-sama tahu, di balik semua perbedaan ini, ada satu hal yang masih sama: kita ingin anak-anak tumbuh dengan orang tua yang ada untuk mereka.

Entah sampai kapan.
Entah dengan cara apa.
Yang aku tahu, hari ini aku masih di sini — mencoba menjaga rumah ini tetap utuh, meski hatiku tak lagi utuh.



Untuk diriku yang sedang belajar jadi ibu

Hai, diriku yang sedang berjuang…

Aku tahu kamu ingin jadi ibu yang lembut.
Yang tak pernah marah, tak pernah membentak, tak pernah menyakiti.
Kamu ingin jadi tempat ternyaman untuk anak-anakmu.
Dan itu… adalah niat yang sangat indah.

Tapi aku juga tahu, hidupmu tidak selalu mudah.
Ada lelah yang tak sempat dijelaskan.
Ada emosi yang tak sempat dimengerti.
Ada hari-hari ketika kamu merasa tak kuat,
dan tak tahu harus mengadu ke siapa.

Tidak apa-apa.
Kamu tidak salah karena merasa itu semua.

Kamu bukan ibu yang buruk.
Kamu hanya sedang kelelahan.
Dan kamu berhak untuk berhenti sejenak,
untuk mengenali dirimu lagi.

Jangan terus menerus menuntut dirimu sempurna.
Kamu bukan robot, kamu bukan malaikat.
Kamu manusia — yang sedang belajar.

Kalau kamu pernah marah,
tapi lalu menyesal dan belajar meminta maaf,
itu juga bentuk cinta.
Kalau kamu pernah lelah,
tapi tetap memeluk anakmu dengan sepenuh hati,
itu juga keajaiban.

Pelan-pelan, ya…
Jadilah ibu yang bahagia — bukan karena hidup selalu mudah,
tapi karena kamu memilih untuk tetap tumbuh,
meski dalam tangis dan peluh.

Aku bangga padamu.
🌸

Aku Tidak Butuh Kamu Sekadar Membantu, Aku Butuh Kamu Hadir


Hari ini aku kembali merasa seperti sendirian di rumah ini. Rasanya bukan cuma soal pekerjaan rumah atau anak yang rewel, tapi lebih ke rasa kosong karena orang yang seharusnya jadi partner hidupku tidak benar-benar hadir.

Aku lelah kalau semua harus dimintai tolong. Sekali aku minta, sering kali tak direspons. Kalau aku ulangi, dibilang cerewet. Dan yang paling menyakitkan adalah ketika aku akhirnya marah karena kelelahan, malah aku yang dimarahi balik.

Satu hal yang membuatku makin sesak adalah ketika dia berkata, “Aku kan sudah bantuin kamu kemarin,” padahal yang dia lakukan hanya sesekali. Seolah-olah satu kali membantu bisa menggugurkan semua rasa capekku setiap hari. Padahal yang aku butuhkan bukan bantuan sesaat. Aku butuh keterlibatan yang konsisten. Aku butuh kepekaan. Aku ingin merasa bahwa rumah tangga ini adalah milik kita berdua, bukan hanya aku yang memikul semuanya.

Aku tidak ingin dianggap sebagai istri yang menuntut. Aku hanya ingin dihargai sebagai pasangan hidup, yang suaranya didengar, yang lelahnya dilihat. Aku ingin dia tahu, aku butuh dia ada… bukan hanya ketika aku memintanya, tapi karena dia merasa itu adalah bagian dari dirinya sebagai suami dan ayah.

Hari ini aku menulis ini dengan hati yang berat. Karena aku sadar, aku rindu sekali rasanya punya pasangan yang benar-benar hadir.



Jika berpisah apakah aku egois terhadap anak?

Sudah 2 tahun sejak kejadian terakhir kalinya itu di akhir 2023. Masih terukir diingatan dengan jelas. Rasanya sakit sekali ke tiga kalinya aku merasakan seperti itu. Dan 2 tahun ini ternyata bisa aku lewati walau dengan air mata. Tapi melihat anak2 sehat rasanya sudah cukup bagiku.
--------------

Hari ini aku kembali menatap wajah anak-anakku yang sedang tidur. Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku, tapi satu yang paling sering menghantui adalah:
“Apakah aku egois jika bercerai?”

Aku bertanya itu pada diriku sendiri berkali-kali. Karena aku adalah ibu, dan seorang ibu selalu memikirkan anak-anaknya sebelum dirinya sendiri.

Tapi malam ini, aku ingin menjawab dengan jujur pada diriku sendiri:
Tidak. Aku tidak egois jika bercerai.
Dan tidak, aku tidak sedang menyakiti anak-anak.
Aku justru sedang melindungi mereka dari luka yang lebih dalam.

---
Kenapa tidak egois?

Bertahan dalam hubungan yang dingin, penuh diam, tanpa cinta dan penghargaan… ternyata lebih menyakitkan daripada yang bisa kubayangkan. Anak-anak memang tidak melihat kami bertengkar. Tapi mereka bisa merasakannya.

Anak bisa merasakan ketika ibunya tidak bahagia.
Anak bisa meniru pola cinta yang salah ketika dewasa.
Anak bisa tumbuh dengan keyakinan bahwa rumah adalah tempat di mana cinta harus dikorbankan.

Dan aku tidak mau itu terjadi.

Memilih bercerai bukanlah keegoisan. Itu adalah keberanian untuk menyelamatkan diri dan anak-anakku dari hidup yang setengah-setengah.

---
Apakah anak akan tersakiti?

Mungkin iya. Tapi hanya sesaat. Dan aku bisa membimbing mereka melewati itu.

Karena luka anak bukan berasal dari perceraian, tapi dari bagaimana orang tuanya bersikap setelah berpisah.

Jika setelah bercerai…

Aku tetap hadir penuh cinta untuk mereka.

Ayah mereka tetap ada meski tidak tinggal serumah.

Rumah tetap tenang, tidak penuh tekanan dan air mata…

Aku percaya anak-anak akan tetap tumbuh sehat. Bahkan mungkin lebih baik daripada jika mereka dipaksa tinggal dalam rumah yang kosong cinta.

---
Aku ingin anak-anakku melihat ibunya bahagia

Aku tidak ingin mereka hanya mendapat “setengah diriku” yang terus berjuang dengan hati yang hancur.
Aku ingin mereka melihatku bangkit, jujur pada diri sendiri, dan memulai hidup baru dengan ketenangan.

Aku ingin mereka tahu:
Ibu yang bahagia akan menumbuhkan anak-anak yang kuat.

---
Hari ini aku menulis ini sebagai pengingat untuk diriku sendiri:
Bukan perceraian yang menyakiti anak-anak. Tapi rumah yang penuh luka pura-pura bahagia, itulah yang pelan-pelan membuat mereka bingung tentang arti cinta.

Aku tidak akan takut lagi. Karena aku tahu, apapun yang kupilih nanti, itu akan selalu datang dari tempat yang penuh cinta untuk anak-anakku.

---
🌸 Kalimat penguat:
"Aku layak bahagia, layak dicintai dengan benar, dan anak-anakku layak melihat ibunya hidup dengan hati yang utuh."

“Aku Layak Bahagia dan Dicintai dengan Benar”

Hari ini aku kembali teringat semua luka itu. Bayangan perselingkuhan yang pernah terjadi datang lagi menghantui. Rasanya sesak, seperti ada yang menekan dadaku. Kadang aku berpikir, apakah aku ini pantas dicintai? Kenapa semua ini terjadi padaku?

Aku sering menyalahkan diriku sendiri. Aku mencoba berpikir kalau aku berubah, mungkin semuanya akan lebih baik. Tapi nyatanya, meski aku berusaha sekuat tenaga, kehidupan ini tetap terasa sama. Luka itu tetap ada.

Dan hari ini aku menyadari sesuatu: menyalahkan diri sendiri tidak akan membuatku bahagia. Menyalahkan diri sendiri tidak akan merubah perilaku orang lain. Aku hanya jadi semakin lelah dan merasa tidak berharga.

Aku harus mulai percaya satu hal:
Aku layak bahagia. Aku layak dicintai dengan benar. Dan aku akan terus mengingat itu setiap hari.

Aku ingin bebas dari rasa sakit ini. Bebas bukan berarti harus pergi atau meninggalkan semuanya saat ini juga, tapi bebas dari beban di hatiku sendiri. Aku ingin berdamai dengan diriku sendiri dulu.

Aku tidak bisa mengontrol orang lain. Aku tidak bisa memaksa seseorang setia atau mencintaiku dengan tulus. Tapi aku bisa memilih untuk menjaga diriku sendiri. Aku bisa memilih untuk tetap berdiri, demi anak-anakku, demi diriku.

Mungkin hari ini aku masih menangis. Tapi aku yakin suatu hari nanti, aku akan melihat ke belakang dan berkata pada diriku:
"Terima kasih, sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih, sudah memilih untuk sembuh."

Aku akan terus mengingat kalimat ini setiap hari…
🌸 “Aku layak bahagia, layak dicintai dengan benar, dan aku akan terus mengingat itu setiap hari.” 🌸

“Untuk Diriku di Masa Depan”

Hai diriku yang sedang membaca ini,
Aku tahu, saat ini kamu mungkin masih merasakan luka yang sama. Kamu mungkin masih bertanya-tanya kenapa semua ini harus terjadi. Tapi aku ingin kamu membaca surat ini dengan hati yang pelan: kamu sudah berjuang dengan sangat luar biasa.

Kamu mungkin lelah, tapi lihatlah… kamu tetap berdiri. Kamu tetap merawat anak-anak dengan penuh cinta meski hatimu berkeping-keping. Itu adalah bentuk kekuatan yang bahkan kamu sendiri sering lupakan.

Aku ingin kamu tahu, kamu tidak salah karena memilih bertahan. Kamu juga tidak salah jika suatu hari nanti kamu memilih untuk melepaskan. Apapun keputusanmu, aku percaya itu adalah yang terbaik untukmu dan anak-anak.

Aku ingin kamu berjanji:

Jangan pernah lagi membiarkan orang lain meruntuhkan harga dirimu.

Jangan lupa bahwa kamu juga perempuan yang berhak bahagia.

Jangan abaikan mimpimu. Anak-anakmu butuh ibu yang sehat lahir batin, bukan yang terus memendam luka.


Kelak, mungkin kamu sudah berada di tempat yang lebih tenang. Atau mungkin kamu masih menjalani hari-hari yang berat. Apapun itu, aku ingin kamu percaya bahwa badai ini pasti akan reda.

Dan ketika kamu merasa ingin menyerah, bacalah ini lagi:
Kamu berharga. Kamu cukup. Kamu layak dicintai dengan benar.

Peluk erat untukmu,
Aku yang sedang belajar sembuh 🌸

Apakah Aku Sedang Mati Rasa? (Catatan Seorang Istri yang Pernah Dikhianati)

Dear diriku sendiri,

Kadang aku bertanya-tanya, apakah hatiku masih sama seperti dulu?
Dulu aku begitu mudah tersenyum saat mendengar suamiku pulang. Dulu setiap obrolan kecil rasanya hangat. Tapi sekarang… bahkan untuk sekadar menyapa pun aku harus memaksa diri.

Aku merasa aneh.
Kenapa justru sosok suami yang ada di khayalan selalu hadir? Sosok yang sabar, penuh cinta, yang memelukku ketika aku lelah. Sosok yang… bukan dia yang ada di dunia nyata.
Apakah ini berarti aku mati rasa?

Mungkin ini bukan sekadar lelah.
Mungkin ini akibat luka yang terlalu dalam. Luka yang muncul ketika dikhianati berkali-kali, hingga hatiku memilih untuk menutup diri. Aku tidak ingin sakit lagi. Dan satu-satunya cara yang kutemukan adalah membiarkan jarak tetap ada.

Aku sadar, aku berubah.
Bukan aku tidak ingin dekat, tapi aku takut kecewa lagi. Aku takut terlalu berharap, lalu hancur di ujungnya. Aku takut cintaku tak dihargai seperti dulu.

Dan yang paling menyedihkan, aku jadi terbiasa.
Terbiasa bicara seperlunya.
Terbiasa menyimpan cerita sendiri.
Terbiasa hidup tanpa kehangatan yang dulu pernah ada.

Aku tahu ini bukan jalan yang sehat, tapi inilah caraku bertahan untuk saat ini.
Aku hanya ingin sembuh. Aku ingin merasakan lagi bahwa aku pantas dicintai. Aku ingin kembali percaya, meski entah kapan hati ini benar-benar siap.

Untuk diriku sendiri…
Tidak apa-apa kalau sekarang terasa hampa.
Tidak apa-apa kalau butuh waktu.
Aku ingin pelan-pelan kembali mengenali hatiku, mencintai diriku sendiri lebih dulu, sebelum bisa mencintai orang lain sepenuhnya.

Karena aku tahu, aku layak bahagia.

– Catatan hati seorang istri yang sedang belajar sembuh.

“Aku Bertahan, Tapi Hatiku Luka”

Hari ini aku kembali merasa kosong. Rasanya seperti ada lubang di dadaku yang tak pernah bisa tertutup. Aku sudah berusaha tegar, tapi setiap kali bayangan tentang perselingkuhan itu datang, hatiku kembali hancur. Sudah tiga kali aku mendapati bukti yang jelas. Tiga kali pula aku memilih diam dan bertahan.

Bertahan… bukan karena aku masih mencintainya, tapi karena aku tidak mau anak-anakku kehilangan rumah. Karena aku tahu mereka tidak salah, mereka tidak pantas menanggung luka yang sama.

Tapi siapa yang peduli pada lukaku?
Aku hanya bisa memeluk diriku sendiri saat tangis ini pecah di malam hari.

Aku tidak lagi punya perasaan untuk suamiku. Yang tersisa hanya rasa hampa dan kecewa yang terlalu dalam. Kadang aku bertanya pada diri sendiri: “Apakah aku salah karena bertahan?” Tapi setiap kali aku melihat wajah anak-anakku yang polos, aku tahu alasan kenapa aku masih di sini.

Aku bertahan bukan berarti aku lemah. Aku bertahan karena aku ingin mempersiapkan diri dengan baik. Aku ingin suatu hari bisa berdiri tegak dengan anak-anakku tanpa merasa ketergantungan. Aku ingin kuat, meski saat ini hatiku remuk.

Untuk sekarang, aku akan fokus pada diri dan anak-anakku. Aku akan sembuh pelan-pelan. Aku akan menemukan kembali diriku yang sempat hilang di tengah semua luka ini.

Jika kelak aku harus memilih jalan yang berbeda, aku ingin melangkah dengan hati yang sudah siap, bukan dengan hati yang penuh amarah. Aku ingin anak-anakku melihat ibunya sebagai perempuan yang kuat, bukan perempuan yang kalah oleh keadaan.

Hari ini aku menulis ini sebagai pengingat: aku berharga, aku layak bahagia, dan aku tidak akan menyerah pada hidup.

Menulis untuk Mengingat, Bukan Sekadar Mengabadikan

Malam ini aku membuka kembali blogku.
Membaca tulisan-tulisan lama yang pernah kutulis dengan segala rasa.
Ada yang kutulis sambil menangis, ada yang penuh tawa,
ada juga yang kutulis saat aku sedang ingin menyerah, tapi tetap mencoba kuat.

Semuanya terasa seperti potongan hidup yang kembali hidup.
Seolah-olah aku sedang duduk bersama diriku yang dulu.
Aku bisa mengingat momen-momen itu dengan begitu jelas…
karena aku menuliskannya.
Karena aku mengabadikannya.

Mungkin inilah alasan terbesarku untuk terus menulis:
bukan untuk didengar orang, tapi untuk tetap mengingat.
Karena kenangan itu rapuh…
Dan hati manusia terlalu sering lupa dengan perjuangannya sendiri.

Blog ini memang kebanyakan berisi diary kehidupanku.
Bukan artikel berat, bukan tips yang sedang tren.
Hanya isi hati, yang terkadang tak sempat disuarakan di dunia nyata.
Sebagian besar memang tidak aku publikasikan.
Karena aku sadar, ini ruang online—siapa pun bisa melihat, siapa pun bisa menilai.

Tapi kadang, muncul rasa ingin membagikan semuanya.
Bukan untuk dikasihani, bukan pula untuk dipuji.
Melainkan sebagai bukti bahwa aku pernah melalui semua itu.
Bahwa aku pernah menangis, pernah patah, pernah rapuh—dan aku bisa melewatinya.

Tulisan-tulisan ini mungkin tidak penting untuk orang lain,
tapi sangat berarti untukku.
Karena mereka adalah saksi sunyi dari perjalanan hidupku yang tidak selalu mudah.
Dan saat aku membaca ulang semuanya, aku tahu satu hal:
aku tidak selemah yang dulu kukira.


---

Peluk Tanpa Tanya, Dengarkan Tanpa Syarat

Ada hari-hari di mana aku tidak ingin penjelasan. Bukan karena aku tidak mampu menjelaskan, tapi karena hatiku sudah terlalu lelah mencari kata.
Aku hanya ingin seseorang... yang memelukku tanpa tanya, yang duduk di sampingku tanpa merasa harus menyelesaikan apapun, yang mendengarkan tanpa buru-buru menilai.

Aku ingin punya cerita yang boleh ditangisi tanpa malu, yang tidak perlu diberi akhir bahagia, cukup didengar, dipahami, dan dirangkul sepenuhnya.

Bukan karena aku lemah—tapi karena aku sudah terlalu kuat dalam kesepian yang panjang.

💗 Hari ini… peluk dulu diri kamu sendiri, ya. Karena kamu layak dipeluk, tanpa alasan apa pun.

Alasanku untuk Tidak Menyerah!



Ada saat-saat di mana rasanya semua ini terlalu berat.

Saat aku ingin menyerah, berhenti, bahkan hilang sejenak dari semuanya.
Tapi setiap kali perasaan itu datang... wajah anak-anakku selalu muncul lebih dulu di pikiranku.

Mereka adalah alasanku.
Alasan kenapa aku masih bertahan.
Kenapa aku harus terus berdiri walaupun hati ini sudah rapuh berkali-kali.

Aku ingin mereka hidup lebih baik dari hidupku. Aku ingin mereka tumbuh tanpa rasa takut, tanpa luka karena lingkungan.
Aku ingin mereka merasa dicintai, diterima, dan punya ruang aman—yang tidak selalu bisa aku rasakan dulu.

Kadang aku merasa sangat sendiri. Lingkungan tidak mendukung, tidak memahami.

Untuk anak-anakku... aku ingin jadi tempat pulang yang kuat. Meski di dalam hati aku sering menangis, meski kadang aku juga ingin dipeluk dan dimengerti. Aku tahu, aku tidak boleh berhenti.

Aku tidak peduli lagi dengan siapa yang mendukung atau siapa yang meninggalkan. Aku tidak bisa mengandalkan siapa-siapa selain diriku sendiri. Dan itu tidak apa-apa. Karena selama anak-anakku masih tersenyum dan merasa aman di pelukanku… aku tahu, aku sedang berada di jalan yang benar.

Untuk mereka, aku akan terus berdiri.
Walau sendiri.
Walau dalam diam.



Ada masa dimana aku ingin kembali

"Ada masa... di mana aku ingin kembali ke masa lalu."

Masa sebelum menikah. Masa bisa pergi kemana aja tanpa mikir bocil.  Masa tidur bisa sampe siang, atau nongkrong tanpa tengok jam. Masa bebas... tanpa tangisan, tanpa kerepotan.

Masa-masa di mana kumpul sama teman itu healing…

Masa di mana ketawa lepas tanpa mikirin cucian numpuk, Masa nongkrong sambil curhat, bukan sambil ngelap ingus bocah 😅 Masa di mana isi tas cuma dompet dan lip balm, bukan popok, tisu basah, dan botol susu. Sekarang? Ketemu temen aja harus janjian jauh-jauh hari, dan kadang batal cuma karena anak ga kondusif.

Tapi...
nggak butuh waktu lama buat sadar, ternyata yang dulu aku cari sekarang, justru sekarang aku punya semuanya walau sering bikin lelah luar biasa.

Bukan berarti kita kehilangan semuanya. Kita cuma berubah. Dulu healing-nya dari temen-temen, sekarang healing-nya… kadang dari liat anak tidur pulas setelah seharian ngerecokin 🤍

Sekarang, aku dicintai tanpa syarat oleh tangan-tangan kecil itu.
Sekarang, aku jadi pusat dunia bagi anak-anak yang kupeluk setiap hari. Sekarang, aku jadi rumah. Harus lebih kuat harus bisa ini itu untuk mereka.

Kadang rindu masa lalu, itu wajar. Tapi aku nggak mau terlalu lama di sana. Karena masa sekarang... juga layak disyukuri sepenuh hati.

Ingin Sendiri, Tapi Tak Mau Kehilangan Anak

Ada satu fase dalam hidup yang tak pernah kubayangkan akan kualami. Fase di mana aku merasa ingin tinggal sendiri, jauh dari lingkungan suami maupun keluargaku. Bukan karena aku tak cinta, bukan karena tak ada cinta. Tapi karena aku merasa... sudah terlalu lelah berharap dimengerti.

Rasanya seperti semua kepercayaan yang dulu kubangun perlahan-lahan runtuh. Mungkin bukan mereka yang berubah, tapi aku yang mulai melihat semuanya dari kacamata yang berbeda. Yang dulunya kupikir tempat berlindung, sekarang justru membuatku merasa asing.

Aku hanya ingin hidup tenang, dengan anak-anakku. Tidak harus menjelaskan apapun, tidak perlu terlihat kuat di depan siapa-siapa. Aku ingin punya ruang sendiri, untuk sembuh. Untuk bernapas tanpa harus memikirkan perasaan orang lain setiap waktu.

Tapi realitanya, niat itu tak semudah wujudnya. Rasanya aku bisa berdiri sendiri. Tapi kalau bersama anak-anak? Aku mulai ragu. Aku merasa tidak cukup kuat, tidak cukup pintar, tidak cukup tangguh untuk menjalani semuanya sendiri sebagai ibu tunggal.

Aku tahu, banyak ibu yang berhasil melakukannya. Tapi di dalam diriku, masih ada keraguan besar. Bukan hanya soal logistik, tapi soal mental. Aku ingin bebas, tapi aku takut kehilangan pijakan. Aku ingin sendiri, tapi aku tak yakin bisa membesarkan anak-anak tanpa support sistem.

Dan di situlah aku diam. Terjebak antara keinginan dan kenyataan. Antara kekuatan dan ketakutan. Antara aku yang sekarang, dan aku yang ingin sembuh.

Aku tau... menyerah bukan tanda lemah, tapi tanda sudah terlalu lama berjuang sendirian. Pelan-pelan, ingin membangun kekuatan itu lagi. Salam untuk diriku, yang meski lelah tapi masih bertahan. 🫶✨

Ketika Ingin Lari, Tapi Harus Tetap Tinggal



Dari dulu, setiap kali hidup terasa berat, aku punya satu cara yang selalu jadi pelarian: pergi. Pergi keluar rumah, mencari udara segar, atau sekadar menjauh dari suasana yang bikin sesak. Aku pikir, dengan menjauh sebentar, hati dan kepala bisa lebih tenang. Dan biasanya memang berhasil.

Tapi itu dulu.
Sebelum aku jadi istri.
Sebelum aku jadi ibu.

Sekarang, ketika masalah datang, pilihan itu tak semudah dulu. Ingin rasanya tetap bisa kabur sejenak—meninggalkan hiruk pikuk rumah, tangisan anak, dapur yang tak ada habisnya, atau rutinitas yang kadang membuatku lupa rasanya menjadi diriku sendiri. Tapi tanggung jawab sebagai ibu tak bisa ditinggalkan begitu saja. Ada anak-anak yang butuh pelukan, butuh jawaban, dan butuh kehadiran. Ada rumah yang menunggu untuk dirawat. Ada peran yang tak bisa digantikan oleh siapa pun.

Ternyata, menjadi ibu bukan sekadar peran. Tapi sebuah perjalanan belajar untuk bertahan, meskipun dalam hati kadang ingin lari. Sebuah proses menumbuhkan keteguhan, bahwa sekalipun jiwa ini lelah, cinta untuk anak jauh lebih besar.

Dan akhirnya, aku belajar menetap. Tidak lagi lari. Tapi berdamai.



Kalau kamu pernah merasa ingin pergi sejenak, itu wajar. Kita semua butuh ruang untuk bernapas. Tapi ingat, menetap bukan berarti kalah. Justru di sanalah letak kekuatan seorang ibu yang memilih tetap ada, meski hatinya kadang ingin jeda. Cerita pengalamanku untuk jadi ibu yang terus belajar bertahan. 💛



Hidup tanpa cinta

[Diary – Malam yang Sunyi]

Kadang aku bertanya pada diri sendiri…
Apa masih mungkin menjalani hidup tanpa mencintai?

Setelah banyak luka, banyak air mata yang aku telan diam-diam… rasanya hati ini beku.
Bukan karena aku tak bisa mencinta. Tapi karena setiap kali aku membuka hati, yang masuk justru duri.

Aku ingin pergi…
Ingin melepaskan, ingin bebas dari luka yang terus-menerus merobek ketenanganku.
Tapi setiap kali bayangan anak-anak melintas… langkahku berat.
Aku takut mereka terluka.
Takut mereka kehilangan bayangan "keluarga utuh", walau kenyataannya hancur di dalam.

Aku bertahan bukan karena cinta.
Tapi karena tanggung jawab. Karena takut.
Karena suara kecil dalam hati yang bilang, "Tahan sebentar lagi. Demi anak-anak."

Tapi aku lelah.
Lelah jadi yang kuat terus.
Lelah pura-pura baik-baik saja.
Lelah menenangkan orang lain, padahal diriku sendiri retak.

Malam ini aku cuma ingin didengar.
Tanpa nasihat. Tanpa dihakimi.
Aku hanya ingin menuliskan apa yang selama ini terkurung di dada.

Kalau memang harus hidup tanpa cinta, semoga masih ada kedamaian.
Dan kalau suatu saat aku mencintai lagi…
Semoga yang kucintai pertama adalah diriku sendiri.



Bertahan Demi Mereka

Aku masih di sini.

Masih bangun setiap pagi, menyiapkan semuanya, tersenyum di depan anak-anak—seolah semuanya baik-baik saja. Padahal... hatiku masih penuh dengan serpihan luka yang belum sempat kugenggam dengan utuh.

Aku bertahan karena mereka.
Karena tiga anak kecil yang memanggilku Mama dengan mata penuh harapan.
Mereka tidak pernah tahu seperti apa rasa kosong yang diam-diam terus menjeratku.

Aku hanya tahu satu hal:
Aku tidak mau mereka merasakan apa yang aku rasakan dulu.

Aku tahu rasanya tumbuh dengan hati yang setengah,
dengan bayangan keluarga yang tidak utuh,
dengan tangis yang ditahan karena tak tahu harus bercerita pada siapa.

Banyak orang bilang, "Tapi kamu punya kakak-kakak…"
Iya, aku memang punya. Tapi tetap saja… kesepian itu tak pernah benar-benar pergi.
Kadang aku merasa seperti anak kecil yang tersesat—di dunia yang terus menuntutku jadi kuat.

Sekarang aku sudah jadi istri.
Sudah jadi ibu.
Sudah punya keluarga kecilku sendiri.

Tapi… kenapa rasanya tetap sepi?
Kenapa luka itu tetap terasa, meski sudah bertahun-tahun berlalu?

Ada suami, tapi kadang aku merasa lebih sendiri dibanding saat aku masih gadis.
Ada anak-anak, tapi kadang aku merasa aku tak punya siapa-siapa.
Lucu ya, bagaimana seseorang bisa begitu penuh oleh cinta… tapi merasa begitu kosong di dalam?

Aku tak sedang minta dikasihani.
Aku hanya ingin jujur,
bahwa di balik semua ketegaran yang orang lihat…
aku ini masih gadis kecil yang hatinya tak pernah benar-benar sembuh.

Tapi aku tetap di sini.
Untuk mereka.
Untuk anak-anakku.
Karena kalau aku menyerah, siapa yang akan melindungi mereka dari rasa yang pernah meremukkan hatiku?

Aku tak ingin mereka mewarisi lukaku.
Cukuplah aku yang belajar bernapas dalam hening.

—Dari aku, yang tetap bertahan, meski hati sudah lama lelah.



Luka yang Tak Bisa Kudiamkan Lagi


Hari ini, aku merasa kosong.
Bukan karena tidak ada orang di sekelilingku… tapi karena hatiku sudah terlalu sering merasa sendiri, bahkan saat sedang bersama.

Aku lelah.
Bukan hanya karena aktivitas harian atau kelelahan fisik sebagai ibu. Tapi karena aku terus memendam sesuatu yang tak bisa kusampaikan dengan kata-kata.
Sesuatu yang sudah lama mengganjal, tapi tak kunjung sembuh.

Luka itu… masih ada.
Meski semua orang bilang aku harusnya sudah move on.
Harusnya sudah melupakan.
Harusnya sudah memaafkan.

Tapi bagaimana caranya memaafkan kalau aku sendiri belum pernah benar-benar didengarkan?
Bagaimana bisa melupakan kalau yang menyakitiku seolah tak pernah merasa bersalah?

Yang paling menyakitkan bukan saat dia menyakiti,
tapi saat aku mulai percaya bahwa mungkin aku memang pantas disakiti.

Kadang aku benci diriku sendiri.
Karena masih berharap, masih menunggu perubahan,
padahal hatiku tahu — aku sedang berdiri sendirian dalam doa yang tak pernah dijawab.

Aku ingin sembuh.
Tapi aku juga ingin dimengerti, bukan dipaksa kuat.
Aku ingin dicintai, bukan dituntut sempurna.
Aku ingin menjadi aku… tanpa harus berpura-pura baik-baik saja.

Hari ini, aku menulis bukan karena aku sudah kuat.
Tapi karena aku tak ingin semakin rapuh hanya karena diam.

Semoga satu hari nanti, aku bisa membaca tulisan ini sambil tersenyum…
karena aku tahu aku pernah bertahan, bahkan saat hatiku retak.

— dari aku, yang sedang berusaha menemukan kembali dirinya sendiri.



Tentang Luka yang Tak Terlihat


Hari ini aku kembali berpura-pura.

Pura-pura bahagia. Pura-pura baik-baik saja. Pura-pura punya cinta yang utuh di rumah yang katanya tempat pulang.

Kadang aku merasa jahat…
Karena saat bersamanya, pikiranku justru melayang ke sosok yang hanya hidup dalam khayalanku.
Seseorang yang lembut, yang sabar, yang tahu cara mencintai tanpa menyakiti.
Bukan dia. Bukan yang ada di sampingku.

Aku pernah mencintainya. Sangat.
Tapi rasa itu entah sejak kapan mulai memudar… atau mungkin hilang saat hatiku tak lagi dijaga.

Lucunya, tubuh ini tetap menyatu, tapi jiwaku menjauh.
Dan setiap kali aku harus pura-pura terlibat, aku semakin hampa.
Karena yang kucari bukan sekadar pelukan—tapi ketulusan yang dulu pernah ada.

Apakah aku salah? Karena ingin dicintai seperti yang kulihat di film-film?
Atau karena mulai ragu apakah aku masih cukup berharga untuk diperjuangkan?

Terkadang aku bertanya…
Apakah aku sedang mencintai sosok khayalan? Atau sebenarnya aku hanya hampa dan bosan??

Yang jelas, malam ini… aku merasa kosong.
Dan aku hanya ingin ada yang mendengarkan, tanpa menghakimi.
Bukan untuk mencari solusi, hanya ingin dipahami.

—Dari hati yang sedang berjuang untuk tetap bertahan
dan tetap menjadi ibu yang utuh meski hati sering retak.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...